Definisi Istihadhah
Secara bahasa, dikatakan: “Wanita itu terkena istihadhah,” kalau
darahnya terus keluar padahal adat haidnya telah berakhir. [Mukhtar
Ash-Shihah hal. 90]
Adapun secara istilah, maka ada beberapa definisi di kalangan ulama.
Akan tetapi mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut: Istihadhah adalah
darah yang berasal dari urat yang pecah/putus, yang keluarnya bukan pada
masa adat haid dan nifas -dan ini kebanyakannya-, tapi terkadang juga
keluar pada masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah
berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu
sembuh darinya.
Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar
sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam
sebulan.
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 16-17]
Ciri-Ciri Darah Istihadhah
Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: Warnanya merah, tipis, baunya seperti darah biasa, berasal dari
urat yang pecah/putus dan ketika keluar langsung mengental.
Hukum Wanita Yang Terkena Istihadhah.
Hukumnya sama seperti wanita yang suci (tidak haid dan nifas) pada semua
hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnahkan berupa ibadah. Ibnu Jarir
dan selainnya menukil ijma’ ulama akan bolehnya wanita yang terkena
istihadhah untuk membaca Al-Qur`an dan wajib atasnya untuk mengerjakan
semua kewajiban yang dibebankan kepada wanita yang suci. Lihat nukilan
ijma’ lainnya dalam Al-Majmu’ (2/542), Ma’alim As-Sunan (1/217) dan
selainnya.
Dari penjelasan di atas, kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa darah
istihadhah bukanlah najis, karena akan diterangkan bahwa wanita yang
terkena istihadhah tetap wajib mengerjakan shalat walaupun saat darahnya
tengah mengalir keluar.
Waktu Keluarnya Istihadhah.
Kalau keluarnya istihadhah bukan pada waktu haid atau nifas, dalam
artian waktu keduanya tidak bertemu.
Misalnya darah istihadhah keluar
bukan saat masa adat haidnya, atau darah istihadhah keluar setelah
berlalunya masa nifas.
Maka di sini tidak ada masalah, masa adat haid dihukumi haid dan
setelahnya dihukumi istihadhah, demikian pula halnya dengan nifas.
Tapi kalau keluarnya istihadhah bertemu dengan masa adat haid atau
masa nifas, maka di sini hukumnya harus dirinci. Kami katakan:
Wanita yang terkena haid (atau pada masa adat haidnya) sekaligus terkena istihadhah, tidak lepas dari empat keadaan:
-
Dia sudah mempunyai masa adat haid sebelum terjadinya istihadhah.
Maka yang seperti ini dia tinggal menjadikan masa adatnya sebagai
patokan. Kalau adatnya tiba maka dia dihukumi terkena haid, dan kalau
adatnya sudah berlalu maka darah yang keluar setelahnya -apapun
ciri-cirinya- dihukumi istihadhah.
Misalnya:
Seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal
bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus
tanpa bisa dibedakan mana yang haid dan mana yang istihadhah (misalnya
karena hari pertama keluar dengan ciri-ciri haid sedang hari yang kedua
dengan ciri-ciri istihadhah dan seterusnya). Maka masa haidnya dihitung
enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah,
sehingga dia wajib untuk mandi lalu shalat walaupun darahnya keluar
terus.
Ini berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Ummu Habibah binti Jahsy tatkala dia terkena istihadhah, “Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat.” (HR. Muslim)
- Tidak mempunyai adat sebelumnya -baik karena itu awal kali dia
haid (al-mubtada`ah) ataukah dia lupa adat haidnya karena sudah lama dia
tidak haid-, tapi dia mempunyai tamyiz, yaitu darah yang keluar bisa
dibedakan mana haid dan mana istihadhah, berdasarkan ciri-ciri haid dan
nifas yang telah disebutkan.
Misalnya: Seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan
darah itu keluar terus-menerus. Akan dia dapati selama 10 hari dalam
sebulan darahnya berwarna hitam, berbau busuk, dan tebal (kental)
kemudian setelah 10 hari itu darah yang keluar berwarna merah, tidak
berbau dan encer (tipis). Maka masa haidnya adalah 10 hari tersebut,
sementara sisanya dihukumi darah istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abi Hubaisy -tatkala dia terkena istihadhah-, “Jika
suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam diketahui, jika
demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka berwudhulah dan
lakukan shalat karena itu darah penyakit.” (HR. Abu Dawud dan An Nasai).
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Hadits ini, meskipun perlu
ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, namun telah diamalkan oleh
para ulama’. Dan hal ini lebih utama daripada dikembalikan kepada
kebiasaan kaum wanita pada umumnya.”
Dia mempunyai adat dan tamyiz sekaligus. Maka di sini ada dua keadaan:
a. Adat dan tamyiznya tidak bertentangan.
Misalnya: Dia mempunyai adat haid tanggal 1-6 tiap bulan. Ternyata darah
yang keluar pada masa adatnya mempunyai ciri-ciri haid, sedang sisanya
mempunyai ciri-ciri darah istihadhah. Maka ini tidak ada masalah.
b. Adat dan tamyiznya bertentangan.
Misalnya: Dia mempunyai adat haid 6 hari di awal bulan, akan tetapi
darah yang keluar saat itu kadang dengan ciri haid dan kadang dengan
ciri istihadhah. Manakah yang dijadikan patokan? Apakah adat ataukah
tamyiznya? Yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa adatnya lebih
didahulukan. Sehingga yang menjadi masa haidnya adalah yang 6 hari,
apapun warna darah yang keluar, sedangkan sebelum dan setelah ke 6 hari
ini bukanlah haid, walaupun cirinya darah haid. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Al-Auzai, satu pendapat dari Asy-Syafi’i, dan juga pendapat
Imam Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu
Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
Tidak mempunyai adat -baik karena baru pertama kali haid
(al-mubtada`ah) maupun karena lupa adat haidnya- dan tidak pula tamyiz.
Contoh: Ada seorang wanita yang pertama kali haid dan juga terkena
istihadhah dengan ciri-ciri darah yang tidak beraturan. Pada hari ini
berwarna hitam (ciri-ciri haid), besoknya berwarna merah dan demikian
seterusnya, dan ini terjadi sebulan penuh atau kurang dari itu. Apa yang
harus dilakukan wanita ini?
Jawab:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Dalam kondisi ini,
hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa
haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai
dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan
darah istihadah.
Misalnya:
Seorang wanita pada saat pertama kali melihat darah pada
tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan
secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan
cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau
tujuh hari mulai dari tanggal lima tersebut.”
Kami katakan: Sebagian ulama berpendapat lebih utama kalau dia melihat
adat kerabat wanita terdekatnya, misalnya ibunya atau saudarinya lalu
dia berpatokan kepada adat mereka.
[Lihat: Al-Muhalla: 2/181-186, Nailul Authar: 1/373-380, Ad-Dima`
Ath-Thabi’iyah karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Shahih Fiqh
As-Sunnah: 1/216-217]
sumber : http://al-atsariyyah.com/mengenal-darah-istihadhah.html